Demo Taksi Konvensional Vs Taksi Online tidak sama seperti Batman Vs Superman, Percaya ??
Selasa 22 Maret 2016 kawasan MPR dan Monas diserbu ribuan pengemudi taksi. Mereka berdemo menolah kehadiran taksi yang berbasis aplikasi online. Anda pasti bisa dengan mudah mnerka penyebabnya. Iya, penghasilan mereka terpangkas akibat hadirnya taksi berbasis aplikasi. Bahkan sebetulnya bukan hanya taksi itu yang membuat penumpang berpindah. Ojek online merebut sebagian taksi konvensional.
Mereka mengeluh, utang setoran ke perusahaan terus bertambah. Padahal uang yang dibawa pulang untuk makan anak istri makin turun. Kita tentu prihatin dengan kenyataan tersebut. Apalagi jumlah pengemudi angkutan umum ini tidak sedikit. Seluruhnya bisa mencapai 170.000an. Sampai disini anda mungkin bergumam, mengapa mereka tidak berubah saja ? Mengapa mereka membiarkan pasarnya digerus para pelaku bisnis online tanpa berupaya melakukan perubahan internal ? Tentu semua ini tak akan mudah.
Sampai disini adagium perubahan kembali berbunyi. Kalau rasa sakit manusia itu belum melebihi rasa takutnya, rasanya belum tentu mereka mau berubah. Maaf, pesan ini berlaku buat kita semua, baik yang sedang duka maupun yang masih gembira. Tapi, supaya fair, kita juga mesti melihatnya dari sisi yang lain, yakni pengemudi taksi berbasis aplikasi dan ojek online.
Mereka juga tengah mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan anak istrinya. Lalu, pelanggannya juga senang memakai taksi berbasis aplikasi karena serasa naik mobil pribadi dan tarifnyapun murah. Begitu selesai tangsung turun. Praktis. Tidak pakai bayar-bayaran tunai. Bisnis taksi berbasis aplikasi ini juga punya pesain. Anda bisa klik nebeng..com. Ini aplikasi yang juga mempertemukan pemilik kendaraan pribadi dengan mereka yang membutuhkan angkutan ke arah yang sama.
Tarifnya tak kalah bersaing. Misalnya tarif dari perumahan Vila Nusa Indah di Bekasi ke Jakarta hanya Rp. 15.000 sekali jalan. Murah ! Para pemilik kendaraan yang rela “ditebengi” ini juga ikut andil dalam mengurangi kemacetan di Jakarta. Ketimbang setiap orang naik mobil pribadi, lebih satu mobil dipakai bersama-sama dengan cara nebeng. Jumlah mobil yang masuk ke Jakarta jadi lebih sedikit.
Pertarungan Bisnis Model
Tapi, mari kita bahas soal perseteruan taksi konvensional vs taksi online. Hadirnya taksi berbasis aplikasi, menurut saya adalah penanda datangnya era crowd business. Apa itu Crowd Business ? sederhana. Ini bisnis yang kalau anda coba mencari polanya bakal pusing sendiri. Sebab serba tidak jelas. Misalnya, tidak jelas batasan antara produsen dan konsumen. Juga tidak jelas kreditor dengan debitor.
Siapapun bisa menjadi pemasok anda, tetapi sekaligus menjadi konsumen anda. Crowd Business kian kencang berputar akibat kemajuan teknologi informasi yang terutama membuat arus informasi mengalir deras dan sekaligus memangkas biaya-biaya transaksi. Dulu kalau kita mau mencari suatu barang mesti menghabiskan waktu, tenaga dan uang. Kita datang ke beberapa toko, melihat barang, membandingkan harganya dan melakukan tawar menawar.
Kalau setuju, baru kita membayar. Kini tidak perlu lagi. Kita cukup berselancar di dunia maya, mencari barang dan membandingkannya, memilih, memesan lalu membayar. Semuanya bisa dilakukan tanpa kita harus beranjak dari kursi dan dengan biaya nyaris nol. Itu pula yang terjadi dalam perseteruan antara bisnis taksi konvensional vs taksi online.
Di bisnis taksi konvensional, kita bukan hanya harus membayar jasa angkutannya, tetapi secara tidak langsung juga mesti menanggung biaya kredit mobilnya, gaji pegawai perusahaan taksinya, biaya listrik dan AC dan sebagainya. Dibisnis taksi berbasi aplikasi kita tidak ikut menanggung biaya-biaya tersebut. Jadi tak mengherankan kalau tarifnya bisa lebih murah. Kolega saya pernah membandingkan.
Untuk rute Cakung Halim Perdanakusumah yang sama-sama di Jakarta Timur, dengan taksi konvensional tarifnya Rp. 105.000, sementara dengan taksi berbasis aplikasi hanya Rp. 55.000. Ini jelas pilihan yang mudah buat calon konsumen. Switching cost dalam industri ini amat rendah. Maka terjadilah downshifting. Lalu bagaimana yang satu bisa lebih mahal ketimbang yang lain ? ini adalah persoalan model bisnis
Analoginya mirip bisnis penerbangan full service dengan low cost carrier (LCC). LCC mendesain model bisnisnya dengan memangkas berbagai biaya, sehingga tarifnya menjadi lebih murah ketimbang maskapai penerbangan yang full service. Model bisnis inialah yang membuat bisnis taksi era lama bakal segera usang.
Pesaingnya bukan sesama bisnis taksi, melainkan para pembuat aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi dengan calon konsumen yang membutuhkan jasa angkutan. Selamat datang diperadaban sharing economy. Efisiensi menjadi kenyataan karena kita saling mendayagunakan segala kepimilikan yang tadinya idle dari owning economy.
Berdamai, bukan menentang
Kasus serupa bisnis taksi bakal kita jumpai dalam bisnis-bisnis yang lain. Diluar negeri, pangsa pasar bisnis perbankan mulai terganggu oleh hadirnya perusahaan-perusahaan crowd funding. Anda bisa cek www..lendingclub..com. Perusahaan ini mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit ke masyarakat.
Bedanya, proses mendapatkan kreditnya jauh lebih simple ketimbang perbankan, dan suku bunganya pun lebih murah. Di Indonesia, bisnis ala lending club sudah ada. Anda bisa cek webnya di gandengtangan..org. Memang untuk sementara bisnis yang didanai masih untuk usaha skala UMKM dan social enterprise. Tapi siapa tahu kedepannya bakal melebar kemana-mana diluar negeri, ada airbnb..com yang mempertemukan pemilik rumah pribadi yang ingin menyewakan rumahnya dengan orang-orang yang mencari penginapan.
Soal tarif, jelas lebih murah ketimbang hotel. Lalu ada juga aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi dengan calon konsumen angkutan darat, namanya lyft. Hadirnya aplikasi ini membuat bisnis taksi tersaingi. Begitulah, kita tak bisa membendung teknologi. Ia akan hadir untuk menghancurkan bisnis-bisnis yang sudah mapan yang tak bisa beradaptasi dengan perubahan.
Persis kata charles Darwin ” Bukan yang terkuat yang akan bertahan, tetapi yang mampu beradaptasi dengan perubahan”. Bagaimana caranya Diluar negeri para pengelola chain hotel berdamai dengan kompetitornya, para pemilik rumah yang siap disewakan melalui jasa airbnb..com. Caranya mereka menjadi pengelola dari rumah-rumah yang bakal disewakan tersebut sehingga ruangan dan layanannya memiliki standard ala hotel.
Belum lama ini saya menikmatinya di sebuah desa di Spanyol selatan, dan saya puas. Kasus serupa menimpa Lego, perusahaan mainan anak, yang terancam bangkrut pada awal 1990an. Hadirnya video games membuat anak-anak kira tak berminat lagi dengan batu-bata mainan buatan lego. Namun perusahaan itu bangkit lagi dengan mengandalkan inovasi dari orang-orang di luar perusahaan atau crowd sourching.
Mereka semua berlajar dari model bisnis kick starter yang fenomenal. Lego tak melawan perubahan, tetapi berdamai. Saya tidak punya resep khusus bagaimana caranya setiap perusahaan mesti menghadapi perubahan. Intinya jangan menentang. Berdamailah dengan perubahan maka kita akan selamat.
Dikutip dari pesan social media yang beredar, tulisan Renald Kasali